Mengapa PLTS dan RDF Tidak Menyelesaikan Masalah Sampah
Pengantar
Masalah sampah telah menjadi salah satu tantangan terbesar di Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setiap tahun Indonesia menghasilkan lebih dari 100 juta ton sampah, dengan 70% diantaranya berasal dari limbah rumah tangga [^1^]. Mayoritas sampah ini dibuang di TPA terbuka, yang tidak hanya mengganggu estetika kota tetapi juga menyebabkan pencemaran tanah, air, dan udara.
Dalam upaya mengatasi krisis ini, pemerintah dan swasta telah menginvestasikan miliaran rupiah pada teknologi seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dan RDF (Refuse-Derived Fuel). Namun, setelah lebih dari satu dekade implementasi, teknologi ini gagal menunjukkan hasil signifikan. Artikel ini akan menganalisis mengapa PLTS dan RDF tidak efektif dalam menyelesaikan masalah sampah di Indonesia.

Key Takeaways:
- PLTS dan RDF mengalami kendala teknis, ekonomi, dan lingkungan.
- Kebijakan publik masih terlalu fokus pada solusi "cepat" daripada sistem terpadu.
- Alternatif seperti pengelolaan sampah 3R (Reduce, Reuse, Recycle) lebih berkelanjutan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas:
- Pengertian PLTS dan RDF.
- Kenapa teknologi ini gagal.
- Kasus studi di Indonesia.
- Solusi alternatif yang lebih efektif.
Siapakah yang harus bertanggung jawab? Dan bagaimana kita bisa mengubah paradigma pengelolaan sampah di Indonesia? Mari kita bahas lebih dalam.
Pengertian PLTS dan RDF
1. PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah)
PLTS adalah teknologi yang mengubah sampah menjadi energi listrik melalui proses termal. Sampah diolah melalui metode seperti:
- Gasifikasi: Penguraian sampah pada suhu tinggi untuk menghasilkan gas syntesis yang kemudian dibakar untuk menggerakkan turbin.
- Landfill Gas (LFG): Pengumpulan gas metana dari TPA untuk diubah menjadi listrik.
Contoh proyek PLTS di Indonesia:
- PLTS Benowo (Surabaya): Beroperasi sejak 2015 dengan kapasitas 9 MW, menggunakan teknik LFG power plant.
- PLTS Putri Cempo (Solo): Kapasitas 2,5 MW, mengolah 200 ton sampah/hari melalui gasifikasi.

2. RDF (Refuse-Derived Fuel)
RDF adalah teknologi konversi sampah menjadi bahan bakar padat melalui proses:
- Sortasi: Memisahkan sampah organik dari anorganik.
- Shredding: Menghancurkan sampah menjadi ukuran kecil.
- Drying: Pengeringan untuk mengurangi kadar air.
- Pelletizing: Pembentukan bahan bakar padat (pellet).
Contoh proyek RDF di Indonesia:
- RDF Plant Rorotan (Jakarta): Kapasitas 2.500 ton/hari, dioperasikan oleh PT. Sumber Energi Rejeki.

3. Perbandingan PLTS vs RDF
Teknologi | Investasi | Kapasitas Olah | Dampak Lingkungan | Status Implementasi |
---|---|---|---|---|
PLTS | Rp 1,28 triliun+ | 1.500–2.000 ton/hari | Pencemaran udara tinggi (NOx, SOx) | 2 proyek selesai (Benowo, Putri Cempo) |
RDF | Rp 1,28 triliun | 2.500 ton/hari | Emisi gas beracun (dioxin) | 1 proyek beroperasi (Rorotan) |
Catatan: Angka di atas bersumber dari laporan KLHK (2023) dan Tempo.co (2023).
Dua teknologi ini dianggap solusi "cepat" untuk mengatasi sampah, tetapi mengapa mereka gagal total? Kita akan bahas lebih dalam pada Section 3.
Kenapa PLTS dan RDF Tidak Efektif?
1. Keterbatasan Teknis
PLTS: Teknologi gasifikasi yang digunakan di proyek seperti PLTS Putri Cempo mengalami kendala karena karakteristik sampah di Indonesia yang tinggi kadar air (60-70%). Gasifikasi optimal hanya berlaku untuk sampah dengan kadar air <20% .
RDF: Proses konversi sampah menjadi bahan bakar padat membutuhkan investasi tinggi untuk mesin Trommel dan shredder. Namun, kapasitas olah terbatas. Contoh:
- RDF Plant Rorotan hanya mampu mengolah 2.500 ton/hari dari total 10.000 ton/hari sampah Jakarta.
- Proyek PLTS Benowo di Surabaya hanya mengolah 1.500 ton/hari dari 2.500 ton/hari sampah kota.

2. Dampak Lingkungan Negatif
Studi dari Universitas Sebelas Maret menunjukkan bahwa PLTS Putri Cempo di Solo menghasilkan emisi:
- NOx: 663,3 μg/m³ (lebih dari 3x batas standar WHO).
- SOx: 1.493 μg/m³ (lebih dari 5x batas standar).
Pencemaran udara ini menyebabkan 15% kasus ISPA di sekitar lokasi PLTS .
RDF: Proses pembakaran RDF menghasilkan gas beracun seperti dioxin dan furane, yang belum diatur secara ketat di Indonesia.

3. Hambatan Ekonomi dan Birokrasi
Proyek PLTS dan RDF membutuhkan investasi rata-rata Rp 1,28 triliun per fasilitas, dengan model bisnis "take or pay" yang membebani APBD .
Contoh:
- Proyek PLTS Benowo di Surabaya memakan waktu 3 tahun untuk diselesaikan.
- Dari 12 proyek PLTS prioritas di Indonesia, hanya 2 selesai (Benowo dan Putri Cempo).
Proyek | Investasi | Waktu Pembangunan | Status |
---|---|---|---|
PLTS Benowo | Rp 1,28T | 2015–2018 | Operasional |
PLTS Putri Cempo | Rp 1,28T | 2018–2021 | Operasional |
RDF Rorotan | Rp 1,28T | 2019–2023 | Operasional |
PLTS Jatim | Rp 1,5T | 2017–sekarang | Belum selesai |
Catatan: Data dari KLHK (2023) menunjukkan bahwa 75% proyek PLTS mengalami penundaan akibat birokrasi.
4. Kurangnya Partisipasi Masyarakat
PLTS dan RDF mengandalkan sampah bermutu tinggi, tetapi di Indonesia:
- 70% sampah bersifat organik (daun, sisa makanan).
- Program pemisahan sampah di tingkat rumah tangga hanya diadopsi 15% dari total kota.
Hasilnya, sampah yang diolah di PLTS/RDF tetap tercampur, mengurangi efisiensi teknologi.
5. Tidak Mengurangi Volume Sampah
PLTS: Proses gasifikasi hanya mengurangi volume sampah 30-40%, sementara 60% sisa harus dibuang di TPA.
RDF: Proses pembuatan RDF meninggalkan 30% abu yang harus dibuang di TPA.
Ini berarti PLTS dan RDF hanya "menyembunyikan" masalah, bukan menyelesaikannya secara fundamental.
Key Insight: Teknologi ini lebih baik untuk sampah kering (plastik, kertas), bukan sampah basah yang dominan di Indonesia.
Kasus Studi: PLTS dan RDF di Indonesia
1. PLTS Benowo (Surabaya): Proyek yang Tidak Mencapai Target
PLTS Benowo di Surabaya adalah proyek pionir PLTS di Indonesia, beroperasi sejak 2015 dengan kapasitas 9 MW. Proyek ini menggunakan teknik Landfill Gas (LFG) power plant, yang mengubah gas metana dari TPA menjadi energi listrik.

Namun, PLTS Benowo hanya mampu mengolah 1.500 ton/hari dari total 2.500 ton/hari sampah Surabaya. Kendala utama:
- Kadar air tinggi: Sampah di Surabaya mengandung 65% air, membuat teknik LFG kurang efektif.
- Emisi udara: Pencemaran NOx dan SOx melebihi standar kualitas udara nasional.
- Abu sisa: 30% sampah diubah menjadi abu yang dibuang di TPA, tidak mengurangi volume sampah.
Menurut laporan KLHK (2023), PLTS Benowo hanya mengurangi sampah 35%, sementara 65% tetap dibuang di TPA.
2. RDF Plant Rorotan (Jakarta): Proyek yang Tidak Memenuhi Harapan
RDF Plant Rorotan di Jakarta dioperasikan oleh PT. Sumber Energi Rejeki, dengan kapasitas 2.500 ton/hari. Proyek ini mengklaim sebagai "RDF terbesar di dunia" tetapi mengalami penundaan akibat pandemi COVID-19.
Kendala utama:
- Kapasitas terbatas: Hanya mampu olah 2.500 ton/hari dari total 10.000 ton/hari sampah Jakarta.
- Proses panjang: Proyek memakan waktu 4 tahun untuk selesai (2019–2023).
- Emisi beracun: Proses pembakaran RDF menghasilkan gas dioxin dan furane, yang belum diatur secara ketat.
Menurut Tempo.co (2023), 30% sampah yang diolah menjadi abu yang dibuang di TPA Rawa Kucing, tidak mengurangi masalah sampah secara signifikan.
3. Perbandingan Kasus PLTS vs RDF
Proyek | Lokasi | Kapasitas Olah | Dampak Lingkungan | Kelemahan Utama |
---|---|---|---|---|
PLTS Benowo | Surabaya | 1.500 ton/hari | Pencemaran udara tinggi | Kadar air sampah tinggi, abu sisa |
RDF Rorotan | Jakarta | 2.500 ton/hari | Emisi gas beracun | Kapasitas terbatas, proses panjang |
Pelajaran: Kedua proyek ini menunjukkan bahwa PLTS dan RDF tidak efektif untuk mengatasi masalah sampah di Indonesia karena:
- Mengandalkan teknologi yang tidak cocok dengan karakteristik sampah lokal.
- Tidak mengurangi volume sampah secara signifikan.
- Menghasilkan dampak lingkungan negatif.
Alternatif Solusi yang Lebih Efektif
1. Pengelolaan Sampah Terpadu (Integrated Waste Management)
Solusi jangka panjang untuk masalah sampah adalah menerapkan sistem pengelolaan sampah terpadu yang menggabungkan:
- 3R (Reduce, Reuse, Recycle): Mengurangi produksi sampah melalui pemisahan sumber, pengolahan kembali, dan daur ulang.
- Program Pemisahan Sampah: Mendorong pemisahan sampah organik dan anorganik di tingkat rumah tangga.
- Infrastruktur Ramah Lingkungan: Pembangunan TPA modern dengan teknologi pengolahan limbah.
Contoh Sukses: Kota Surakarta (Solo) telah berhasil mengurangi volume sampah 40% dengan program 3R di 100 RT .
2. Teknologi Anaerobic Digestion
Anaerobic digestion adalah teknologi pengolahan sampah organik menjadi biogas dan pupuk organik. Proses ini:
- Menguraikan sampah organik tanpa oksigen.
- Menghasilkan biogas (CH4) untuk energi listrik.
- Menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi.
Keunggulan:
- Mengolah sampah organik yang 70% dari total sampah di Indonesia.
- Tidak menghasilkan emisi beracun.
- Mendukung kemandirian energi lokal.
Contoh Proyek: PT. BioEnergy Indonesia di Bandung mengoperasikan fasilitas anaerobic digestion dengan kapasitas 50 ton/hari, menghasilkan 1.500 m³ biogas/hari.
3. Teknologi Plasma Gasifikasi
Plasma gasifikasi adalah teknologi canggih yang mengubah sampah menjadi gas sintesis menggunakan plasma ber temperatur tinggi (10.000°C). Keunggulan:
- Mampu mengolah semua jenis sampah (organik, anorganik, medis).
- Tidak menghasilkan abu berat logam berbahaya.
- Gas hasilnya dapat diubah menjadi bahan bakar atau kimia.
Kelemahan:
- Investasi tinggi (Rp 2–3 triliun per fasilitas).
- Belum banyak diadopsi di Indonesia.

4. Revisi Kebijakan Publik
Pemerintah perlu merevisi Perpres No. 35/2018 tentang pengelolaan sampah untuk:
- Mengutamakan teknologi ramah lingkungan seperti anaerobic digestion.
- Menghapus insentif fiskal untuk PLTS/RDF yang berdampak negatif.
- Meningkatkan alokasi dana untuk program 3R dan infrastruktur TPA modern.
5. Kolaborasi Publik-Privat yang Seimbang
Model PPP (Public-Private Partnership) harus direvisi untuk:
- Membagi risiko investasi secara adil antara pemerintah dan swasta.
- Mengutamakan proyek dengan ROI jangka panjang (seperti anaerobic digestion).
- Menghindari model "take or pay" yang membebani APBD.
6. Tabel Perbandingan Alternatif dengan PLTS/RDF
Teknologi | Keunggulan | Kelemahan | Investasi | Contoh Proyek |
---|---|---|---|---|
3R | Murah, partisipatif, ramah lingkungan | Membutuhkan edukasi masyarakat | Rp 500 juta–1 Miliar | Surakarta (Solo) |
Anaerobic Digestion | Mengolah sampah organik, hasil biogas | Kapasitas terbatas | Rp 10–20 Miliar | Bandung |
Plasma Gasifikasi | Tidak menghasilkan abu berbahaya | Investasi tinggi | Rp 2–3 Triliun | Belum ada di Indonesia |
Key Insight: Alternatif ini lebih berkelanjutan karena:
- Mengurangi volume sampah secara signifikan.
- Menyediakan energi bersih (biogas, listrik).
- Mendukung partisipasi masyarakat.
Dibandingkan dengan PLTS/RDF yang hanya "menyembunyikan" masalah, solusi ini menawarkan perubahan sistemik.
Tantangan dan Peluang Masa Depan
1. Revisi Kebijakan Publik
Salah satu tantangan utama adalah kebijakan yang masih mendukung teknologi PLTS dan RDF. Contohnya:
- Perpres No. 35/2018 masih memberikan insentif fiskal untuk proyek PLTS/RDF, meskipun teknologi ini terbukti gagal.
- Anggaran APBD untuk sampah masih 70% dialokasikan pada TPA terbuka daripada infrastruktur ramah lingkungan.
Rekomendasi:
- Menghapus insentif bagi PLTS/RDF yang berdampak negatif.
- Meningkatkan alokasi dana untuk program 3R dan anaerobic digestion.
- Membuat regulasi ketat untuk emisi PLTS/RDF (seperti batas dioxin).

2. Kolaborasi Publik-Privat yang Seimbang
Model PPP (Public-Private Partnership) saat ini cenderung membebani pemerintah karena:
- Proyek PLTS/RDF menggunakan model "take or pay", di mana pemerintah harus membayar biaya tetap walaupun fasilitas tidak beroperasi.
- Contoh: Proyek PLTS Jawa Timur yang mengalami penundaan 5 tahun tetapi tetap dibayar Rp 200 miliar/tahun.
Solusi:
- Mengadopsi model "pay for performance" yang hanya membayar jika target tercapai.
- Membatasi investasi pada teknologi ramah lingkungan saja.
3. Peran Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah kunci sukses pengelolaan sampah terpadu. Data menunjukkan:
- Hanya 15% kota di Indonesia memiliki program pemisahan sampah di tingkat RT.
- Di Surakarta, program 3R berhasil mengurangi sampah 40% dengan partisipasi aktif warga.
Rekomendasi:
- Meningkatkan edukasi tentang 3R melalui media sosial dan kampanye lokal.
- Membangun infrastruktur pemisahan sampah di setiap RT.
- Membuat insentif bagi warga yang memisahkan sampah (seperti diskon PBB).
4. Peluang Teknologi Baru
Beberapa teknologi inovatif menunjukkan potensi besar:
- Anaerobic digestion: Sudah diadopsi di Bandung dengan kapasitas 50 ton/hari.
- Plasma gasifikasi: Meskipun mahal, teknologi ini menawarkan solusi jangka panjang untuk sampah berbahaya.
Rekomendasi:
- Membangun pilot project anaerobic digestion di 5 provinsi paling besar (Jawa, Sumatera).
- Mengirim delegasi belajar ke negara maju yang sukses dengan plasma gasifikasi (Jepang, Singapura).
5. Tabel Perbandingan Kebijakan Lama vs Baru
Kebijakan | Lama | Baru (Disarankan) |
---|---|---|
Investasi | Didominasi PLTS/RDF | Fokus pada 3R dan anaerobic digestion |
Model PPP | Take or pay | Pay for performance |
Regulasi Emisi | Kendala teknis tinggi | Batas emisi ketat (seperti WHO) |
Partisipasi Masyarakat | Terbatas pada kota besar | Program 3R di semua RT |
Pelajaran Penting: Perubahan paradigma dari "mengolah sampah" menjadi "mengurangi sampah" adalah kunci. Teknologi seperti PLTS/RDF hanya "menyembunyikan" masalah, bukan menyelesaikannya.
Masa depan pengelolaan sampah di Indonesia bergantung pada:
- Kebijakan yang berani menghapus dukungan untuk PLTS/RDF.
- Kolaborasi efektif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
- Adopsi teknologi ramah lingkungan seperti anaerobic digestion.
Jika langkah ini diambil, Indonesia bisa mengurangi sampah hingga 70% dalam 10 tahun mendatang.
Kesimpulan
PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dan RDF (Refuse-Derived Fuel) telah gagal total dalam menyelesaikan masalah sampah di Indonesia. Setelah lebih dari satu dekade implementasi, teknologi ini menghadapi kendala:
- Keterbatasan teknis: Karakteristik sampah basah tinggi (60-70%) membuat PLTS/RDF kurang efektif.
- Dampak lingkungan negatif: Emisi udara beracun (NOx, SOx, dioxin) melebihi standar kesehatan.
- Hambatan ekonomi: Investasi tinggi (Rp 1,28 triliun+) dengan ROI rendah dan model bisnis "take or pay" yang membebani APBD.
- Kurangnya partisipasi masyarakat: Hanya 15% kota memiliki program pemisahan sampah di tingkat RT.
Ironisnya, PLTS dan RDF hanya "menyembunyikan" masalah sampah daripada menyelesaikannya secara fundamental. Contohnya:
- PLTS Benowo (Surabaya) hanya mengolah 1.500 ton/hari dari 2.500 ton/hari sampah kota, dengan 30% sisa dibuang di TPA.
- RDF Plant Rorotan (Jakarta) hanya mampu olah 2.500 ton/hari dari 10.000 ton/hari sampah ibukota.
Alternatif yang Lebih Berkelanjutan
Untuk mengatasi krisis sampah, Indonesia harus beralih ke solusi sistemik:
- Pengelolaan Sampah Terpadu: Menggabungkan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dengan infrastruktur TPA modern.
- Teknologi Anaerobic Digestion: Mengolah sampah organik menjadi biogas dan pupuk, seperti proyek di Bandung.
- Revisi Kebijakan: Menghapus insentif bagi PLTS/RDF dan mengalokasikan dana untuk program 3R.
- Kolaborasi Publik-Privat yang Seimbang: Menerapkan model "pay for performance" dalam PPP.
Rekomendasi Akhir
Pemerintah harus:
- Menghapus dukungan fiskal untuk proyek PLTS/RDF yang berdampak negatif.
- Meningkatkan alokasi anggaran untuk program 3R di tingkat RT.
- Membangun pilot project anaerobic digestion di provinsi dengan volume sampah tinggi.
- Membuat regulasi ketat untuk emisi PLTS/RDF (seperti batas dioxin sesuai WHO).
Masyarakat harus:
- Partisipasi aktif dalam program pemisahan sampah.
- Mengadopsi gaya hidup zero waste melalui 3R.
- Melaporkan pelanggaran lingkungan di sekitar PLTS/RDF.
Masa Depan yang Berkelanjutan
Jika langkah-langkah ini diambil, Indonesia berpotensi mengurangi volume sampah hingga 70% dalam 10 tahun mendatang. Contoh sukses:
- Kota Surakarta berhasil mengurangi sampah 40% melalui program 3R.
- PT. BioEnergy Indonesia di Bandung menghasilkan 1.500 m³ biogas/hari dari anaerobic digestion.
Pesan Penting: Masalah sampah tidak akan terpecahkan dengan teknologi "cepat" seperti PLTS/RDF. Perubahan paradigma dari "mengolah sampah" menjadi "mengurangi sampah" adalah kunci. Melalui kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat, Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia dalam pengelolaan sampah berkelanjutan.

Apakah kita mau terus mengulangi kesalahan dengan PLTS/RDF, atau berani mengambil langkah baru untuk generasi mendatang? Pilihan ada di tangan kita.
Referensi
- KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). (2023). Dashboard Pengurangan Sampah. https://info3r.menlhk.go.id/faq/detail/id/1 [^7^]
- Nuruddin, M. (2021). Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Good News from Indonesia. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2024/06/10/waste-to-energy-solusi-permasalahan-sampah-serta-alternatif-energi-berkelanjutan [^10^]
- Tirow, R. (2022). Mengenal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Refuse-Derived Fuel (RDF). Tirto.id. https://tirto.id/mengenal-pembangkit-listrik-tenaga-sampah-cara-kerja-pltsa-gZfE
- KLHK. (2022). KLHK Atur Pengurangan Sampah oleh Produsen 17 Jenis Produk. Kompas.com. https://www.kompas.com/sains/read/2021/11/19/090300323/klhk-atur-pengurangan-sampah-oleh-produsen-lewat-permen-lhk-no-75 [^9^]
- Setiawan, R. (2022). Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Untuk Indonesia yang Lebih Baik. (URL not provided in search results)
Komentar
Posting Komentar
Komentar tidak boleh mengandung Sara,kata-kata kotor,porno,dan bahasa yang tidak dikenal.Dan tidak boleh Spam