Review Tahāfut al‑Falāsifah: Kerancuan Para Filsuf oleh Imam al‑Ghazali

Review Tahāfut al‑Falāsifah: Kerancuan Para Filsuf oleh Imam al‑Ghazali

Tahāfut al‑Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf) adalah karya monumental Imam al‑Ghazali yang diterbitkan pada 1095 M, mengkritik ajaran para filosof seperti al‑Farābī dan Ibnu Sīnā yang mengikuti filsafat Yunani meski bertentangan dengan Islam. Ghazali menulis karya ini setelah Maqāṣid al‑Falāsifa sebagai bagian dari serangkaian empat risalah yang menggabungkan eksposisi dan kritik terhadap pemikiran filosofis.

Latar Belakang dan Konteks Sejarah

Imam al‑Ghazali diangkat menjadi profesor di Nizāmīyah Baghdad pada Juli 1091 atas undangan Nizām al‑Mulk untuk melawan pengaruh Fatimid di wilayah Sunni . Dalam masa jabatannya, ia menulis empat risalah: dimulai dengan Maqāṣid al‑Falāsifa (Maksud Para Filosof), lalu Tahāfut al‑Falāsifah, Miyār al‑ʿIlm (Kriteria Pengetahuan), dan Al‑Iqtiṣād fī al‑Iʿtiqād (Moderat dalam Keyakinan) .

Metodologi Kritik al‑Ghazali

Ghazali memadukan tiga pendekatan: analisis logis untuk mengungkap inkonsistensi internal argumen filosof, argumen kalam untuk mempertahankan doktrin teologi Islam, dan perspektif sufistik yang menekankan pengalaman mistik sebagai sumber kebenaran tertinggi .

Beberapa Poin Kerancuan Utama

  • Doktrin Kewujudan Tuhan: Filosof menolak kausalitas langsung Tuhan, sementara Ghazali menegaskan occasionalism: setiap kejadian merupakan kehendak langsung Tuhan.
  • Sifat Ilahiah: Para filosof memandang nama dan sifat Tuhan secara figuratif, Ghazali membuktikan sifat wujud, ilmu, dan kehendak Tuhan berdasarkan wahyu dan rasio.
  • Kekekalan Alam: Ibnu Sīnā mengajarkan alam abadi; Ghazali menolak dengan logika kreasi eks nihilo sesuai Al‑Qur’an.
  • Penolakan Kebangkitan Jasmani: Filosof memisahkan jiwa dan jasmani, Ghazali mempertahankan kebangkitan fisik akhirat berdasar nash dan rasio :contentReference.

Dampak dan Respon terhadap Karya

Karya ini memicu ashur berkembangnya mazhab Asyʿarīyah yang lebih menekankan wahyu dibanding akal mutlak :contentReference[oaicite:9]{index=9}. Ibnu Rusyd (Averroes) membalasnya dengan Tahāfut al‑Tahāfut untuk membela filsafat Aristotelian, memicu debat teologi-filsafat di Eropa dan mendorong kebangkitan studi metafisika Barat .

Kesimpulan

Dalam Tahāfut al‑Falāsifah, Imam al‑Ghazali menegaskan bahwa filsafat tanpa landasan wahyu berpotensi tersesat dalam kerancuan metafisika, namun ia tetap menghargai logika dan sains yang tidak bertentangan dengan Islam :contentReference[oaicite:11]{index=11}. Kritiknya memengaruhi dunia Islam selama berabad-abad, serta menegaskan dialog abadi antara akal dan wahyu yang relevan hingga kini :contentReference[oaicite:12]{index=12}.

Pelajari Lebih Lanjut tentang Karya al‑Ghazali

Artikel ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai Tahāfut al‑Falāsifah karya Imam al‑Ghazali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengulas Buku "Filosofi Teras" Karya Henry Manampiring

Fenomena '#KABURAJADULU': Fenomena Migrasi Generasi Muda Indonesia yang Viral

Apa itu Artificial Intelligence?